Senin, 28 Januari 2013 | |

Madu “Pollen”

HUTAN
Saat laju kendaraan masuk Desa Loli, Kecamatan Polen, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, tampak botol-botol berisikan madu berjajar di sejumlah titik di sepanjang ruas jalan desa itu. Madu lebah liar di sekitar desa ini disebut madu ”Pollen”, sesuai nama wilayah. Lebah madu hidup secara alamiah, atau didatangkan tukang pawang lebah liar.
Madu ”Pollen” sungguh asli. Para pembeli lebih suka membeli langsung di Loli. Kimas Angket (29), penjual madu di Desa Loli, 15 km arah barat Kota Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU), mengatakan, madu Pollen diminati para pedagang madu dari berbagai daerah, termasuk Jakarta. Mereka sering kewalahan melayani permintaan itu.
”Kami pernah dapat pesanan dari Surabaya 5 ton madu cair, tapi kami tidak bisa penuhi permintaan itu. Persediaan cuma 3 ton sehingga dijual di sini saja dengan harga Rp 40.000–Rp 50.000 per botol berkapasitas 650 ml,” jelas Kimas.
Madu sebanyak 3 ton itu milik kelompok Rukun Abadi, beranggotakan 10 orang. Kimas bersama tiga anggota lain bertugas menjual madu, anggota lain memanjat serta mengambil madu, dan satu orang bertugas sebagai tukang pawang madu.
Tiga kali panen
Madu dipanen tiga kali setahun. Periode Agustus-September saat lebah madu menggantungkan makanannya pada sari bunga pohon kusambi. Lalu, musim panen Oktober-November ditentukan oleh sari bunga kayu putih, dan November-Desember, bunga dari pohon tuba, rasa pahit.
Madu yang dipanen November-Desember paling diminati pembeli karena dinilai lebih berkualitas. Sari bunga tuba yang diisap lebah diyakini membawa khasiat khusus untuk menghasilkan madu berkualitas.
”Madu jenis ini bisa mengobati luka luar, bisul, penderita TBC, infeksi saluran pernapasan akut, asam urat, jerawat, menjaga kulit, vitalitas tubuh, dan lainnya. Madu dari pohon kusambi dan kayu putih sama kualitasnya, tetapi pengakuan konsumen di desa ini, madu dari pohon tuba lebih bagus,” kata Kimas.
Satu sarang lebah menghasilkan tiga liter madu. Produksi terbanyak terjadi pada Agustus-September. Pada musim ini, madu dapat dijual dengan harga Rp 30.000 per botol.
Lebah penghasil madu di Kecamatan Pollen bersarang di pohon randu, asam, beringin, dan pohon lain dengan ketinggian 20 meter dari permukaan tanah. Induk lebah menghasilkan madu mengisap sari bunga dari tanaman lain yakni kusambi, kayu putih, dan pohon tuba.
Satu pohon dapat menghasilkan 50 sarang lebah madu, dan satu sarang menghasilkan empat liter madu, selama kemarau. Musim hujan hanya menghasilkan 30 sarang lebah. Musim hujan hanya pohon tuba yang mengeluarkan sari, yang diisap lebah madu, sedangkan pohon kusambi dan kayu putih tidak mengeluarkan bunga.
Lebah yang hidup dan berkembang di Pollen tidak pernah diternak khusus. Lebah-lebah itu hidup di pohon-pohon besar dan tinggi di wilayah itu sejak nenek moyang. Tetapi masyarakat mulai memanfaatkan madunya secara ekonomis 30 tahun terakhir. Sebelumnya, warga hanya memanfaatkan madu untuk konsumsi pribadi atau keluarga.
Anton Naben, pengumpul madu hutan dari Dusun Usapi, Desa Loli, mengatakan, setelah madu menjadi andalan ekonomi warga Pollen, 1982, pohon-pohon sebagai tempat tinggal lebah tetap dijaga. Sudah ada kesepakatan warga agar tidak menebang pohon termasuk hutan sekitar. Jika dilanggar, didenda 5 ekor sapi. Hutan pun terawat.
”Madu hutan diambil 1,5 km dari desa ini. Lebah bersarang di sembarang pohon dan lubang batu. Tapi hanya lahan milik sendiri bisa kita panen madu, nanti diprotes pemilik lahan. Madu batu dihargai sampai Rp 60.000 per botol karena lebih berkualitas,”kata Naben.
Produksi madu di Loli mencapai 50 ton per tahun. Madu tak dibudidaya, tetapi hidup dan berkembang secara alamiah di pohon atau hutan (lubang batu).
Naben memiliki langganan tetap pengiriman madu ke Surabaya, Jakarta, dan Denpasar, sejak 2000. Setiap bulan ia mengirim masing-masing 100 liter ke tiga kota itu dengan harga Rp 100.000 per botol (650 ml).
Dari hasil madu ini, Naben membangun kios (bahan kebutuhan pokok), pelihara ternak sapi, membangun rumah tinggal, dan menyekolahkan tiga orang anak sampai kuliah.
Peran pawang
Lebah bisa dipanggil bersarang di pohon di dalam desa itu, melalui pawang lebah. Pawang membuat upacara khusus dibawah pohon dengan menyembelih seekor ayam jantan merah. Darah ayam itu disiram pada batang pohon, dan bulunya disebar keliling pohon.
”Kalau dipanggil, lebah jauh lebih banyak datang. Satu pohon bisa sampai 300 sarang di dahan pohon, dari dahan terbawah sampai teratas. Tempat bersarangnya pun mudah dijangkau, ketimbang lebah datang sendiri yang mencari tempat bersarang hanya sampai 15 sarang dan di tempat yang sangat sulit dijangkau,” kata Naben.
Bagian tertentu dari ayam itu seperti jantung, hati, paru, dan empedu, setelah dibakar, diletakkan di atas batu ceper di samping pohon. Menurut kepercayaan, jika ada semut menggerogoti, tanda leluhur setuju. Lebah pun segera datang.
Jika tidak ada semut atau binatang lain yang makan, tanda leluhur menolak sehingga perlu ada pengakuan kesalahan dari warga. Bahkan, seraya berjanji tidak mengulangi kesalahan itu, seperti tak merusak hutan atau menebang pohon.
Saat pawang memimpin ritual itu, termasuk mendaraskan doa-doa adat, semua tokoh adat, penjual lebah, dan tukang panjat pohon lebah turut hadir. Mereka turut mengambil bagian mencicipi ayam itu, meski hanya sedikit. ”Selang 2-5 hari usai ritual itu, lebah datang bertahap. Mereka hinggap mulai dari dahan paling rendah sampai tertinggi,” kata Naben.
Madu lebah bisa dipanen setelah 30 hari. Panen lebah yang dipanggil khusus, harus diawali dengan ritual serupa, sebagai tanda syukur.
(KORNELIS KEWA AMA)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/05/10/03124358/madu.pollen.dan.kuasa.pawang